Ini cerita tentang kehidupan remaja yang tak lepas dari
yang namanya cinta. Dan yang paling popular diantaranya adalah tentang cerita “Cinta Pertama”. Dan saya sebagai penulis mengibaratkan
diri sebagai tokoh “aku=Chalista”.
Story 1
Semuanya berawal saat aku pindah rumah
dan juga sekolah karena suatu hal yang terjadi di dalam keluarga kami. Hidupku benar-benar
sulit, hatiku dipenuhi kesedihan, dan senyumku dihiasi dengan kepalsuan. Hidup mengajarkanku
artinya terluka tanpa pernah merasa bahagia yang sebenarnya. Hari-hariku
dipenuhi dengan kekelaman kehidupan, malam-malamku dihiasi dengan literan air
mata yang tak tertahankan.
Lalu semuanya berubah ketika aku
bertemu dengannya. Orang yang nantinya akan membuat hidupku lebih berarti dan
aku merasa dibutuhkan.
Hanya saja saat pertama kali
bertemu tepatnya dihari pertamaku masuk sekolah di sekolah baruku. Saat semua
anak lain bermai-ramai ramah dan mengajak kenalan juga berteman, hanya satu
orang yang memandangku dengan sinis dan agak menyebalkan dengan senyumannya
yang seperti meremehkanku. Lalu seorang teman sekelasku mengenalkan anak-anak
lain yang sekelas dengan kami dengan menunjuk kea rah orangnya dan memberitahu
namanya. Sampai akupun tahu kalau anak itu ternyata, Dia bernama Dicky. Dan tiba-tiba aku punya firasat aneh yang ga’
enak tentang anak itu.
Katanya sich Dicky itu ketua
osis, dan dia terkenal popular juga keren. Tapi melihat orangnya aku hanya
bergumam dalam hati “Hm..keren dari mananya sich, cowok kok pendek gitu”.
Itu menjadi pandangan awal dariku tentangnya, dan mungkin dia juga sama
jeleknya memandangku.
Beberapa hari berlalu dan
terbukti kalau kami berdua ga’ cocok dalam berteman, selalu bertengkar dalam
hal apapun, terlebih Dicky suka banget meledek dan mengerjaiku, hal yang
membuatku ga’ bias menahan kesabaran dan emosi untuk menghajar tu anak. Dan terciptalah
“Tom & Jerry” versi “Dicky & Chalista”.
Sampai suatu kali saat pelajaran
PKn, Pak Guru mengajukan pertanyaan, dan aku mencoba memberanikan diri
mengangkat tangan dan menjawab. Setelah itu Pak Guru masih memberikan
kesempatan untuk yang lain memberikan pendapatnya, dan beraksilah si Dicky itu.
Pendapatnya diterima baik oleh Pak Guru bahkan dianggap lebih baik dan lengkap
dari pendapatku. Dengan bangganya si Dicky tersenyum penuh rasa senang yang
menjengkelkan kepadaku, hingga aku ga’ bias menahan diri dan mengeluarkan
kata-kata pedas dengan suara kecil “Dasar Cebol”. Dan ternyata kata-kataku itu terdengar
olehnya, dengan wajah kesal dia membalasku dengan mengatakan “Dasar pelacur”
pelan tapi masih terdengar olehku. Itu benar-benar membuatku kesal dan entah
kenapa aku ga’ membalas kata-katanya, hanya “dongkol” dan kesal dihati tapi
tidak aku luapkan. Aku sama sekali ga’ mau peduli dengannya lagi.
Tapi, entah ada angin apa, saat
istirahat tiba, Dicky dan teman-temannya menghampiriku dan teman-temanku yang
lagi duduk di jembatan menikmati udara segar. Dicky lalu duduk di sampingku
lalu meminta maaf atas perkataannya yang keterlaluan.
“Maaf kalau kata-kataku tadi di kelas
keterlaluan, lagian kamu duluan sich yang mulai!” katanya dan
membuatku sudah bisa menebak kalau perkataan maafnya itu masih terselip gengsi.
Aku juga sedang bermood baik,
jadi aku memaafkannya, tapi aku ga’ bias menyambut dan menjabat tangannya
sebagai tanda peradamaian, karena entah sejak kapan aku jadi anti banget
bersentuhan dengan anak laki-laki. Untungnya Dicky mengerti.
Akan tetapi, peradamaian kami
tidak lebih hanya bertahan di bawah lima menit. Dicky membuatku kesal lagi
dengan meledek dan memberi julukan aneh-aneh padaku. “Anak itu benar-benar mau di hajar, awas
yach kamu Dick”, kataku lalu mengejar dengan emosi Dicky yang sudah
kabur duluan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar